TK HASYIM ASY'ARI :
Beralamatkan di
Jl bratang gede I/26 Surabaya
Nabi muhammad SAW bersabda:
Apabila mati anak Adam ,maka akan putus seluruh amalnya,kecuali 3 perkara yaitu:
- Amal jariyah
- Ilmu yang bermanfaat
- Anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya
( Al-hadits )
1) Sifat jujur
Kejujuran, salah satu sifat terpenting dalam kepribadian seorang anak dan sekaligus nantinya akan menjadi pertanda keimanannya. Pasalnya, kejujuran (ash-shidqu, Arab) lawan dari berdusta (al-kadzib) yang merupakan salah satu karakter menonjol orang-orang munafik.
Allah ‘Azza Wa Jalla memerintahkan berkata jujur dan melarang kedustaan. Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah /9:119)
Mereka orang-orang kafir yang benar dalam perkataan, perbuatan dan kondisi.(2)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alai Wa Sallam bersabda :
Tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat (HR.al-Bukhari)
Keluarga Muslim bertanggung-jawab penuh di hadapan Allah ‘Azza Wa Jalla untuk mengambil peran utama dalam menanamkan sifat jujur dan seluruh akhlak yang terpuji pada kepribadian semua anggota keluarganya, baik yang dewasa maupun yang masih kanak-kanak. Pasalnya, sifat terpuji ini (kejujuran) salah satu faktor utama yang mendatangkan ketentraman hidup dalam rumah dan keindahan akhlak serta keteguhan perilaku yang baik lainnya.
Hubungan antar komponen dalam satu keluarga mengharuskan mereka membiasakan hidup jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan, siapapun dia, besar maupun kecil. Menjadi kewajiban orang-orang yang sudah dewasa untuk menjadi cermin yang baik bagi anak-anak.
Pandangan anak-anak akan terpengaruh dengan orang dewasa yang ada di sekitar mereka, terutama dalam rumah yang mereka huni,”Perkara baik dalam pandangan anak-anak adalah yang engkau (orang tua/guru) lakukan. Dan perkara buruk (menurut mereka ) adalah yang tidak engkau lakukan” (3). Oleh sebab itu, Islam memperingatkan agar orang tua (pendidik) tidak mencoba berdusta di hadapan anak-anak yang masih dalam fitrahnya itu. Tujuannya, agar mereka tumbuh dan berkembang dalam naungan pembinaan yang baik. Di saat sebagian orang tua meremehkan masalah ini dengan tidak sejalannya perkataan yang didengar anak-anak denga perbuatan yang dilakukan orang tua, dan membuai mereka dengan ‘obralan’janji ‘kosong’ agar mau taat, mendengar dan tidak membangkang.
Apakah pembinaan seperti ini tepat? Kedustaan itu apakah bukan dosa?
Cara mendidik dengan kedustaan ditentang oleh Rasullullahu Shallallahu ‘Alai Wa Sallam dan beliau tetap menganggapnya sebagai perbuatan dosa.
Rasullullahu Shallallahu ‘Alai Wa Sallam bersabda :
Barangsiapa berkata kepada seorang anak kecil,”Kesini, ambillah (ini)”,kemudian tidak memberinya apapun, itu adalah kedustaan (HR. Ahmad dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 748)
Dalam hadits lain yang memperkuat makna hadits di atas, dari hadits Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, :Rasullullah mendatangi rumah kami, saat aku masih kecil. Aku keluar untuk main-main. Ibuku berkata,”Abdullah, sini, Ibu mau memberimu (sesuatu)”. Rasullullah bertanya (kepada ibuku),”Apa yang akan engkau berikan kepadanya?”. Ibu menjawab, “Kurma”. Kemudian Rasullullah berkata.”Jika engkau tidak memberinya apapun, niscaya itu sati kedustaan bagimu”. (HR. Ahmad)
Melalui dua hadits di atas, sudah jelas, bahwa apa yang dipraktekkan sebagian orang tua terhadap anak-anak mereka dengan menjanjikan sesuatu padahal tidak berniat untuk memberikannya kepada sang anak, hanya agar mau anak taat dan mendengar perintah dan larangan orang tua, atau sekedar mau masuk rumah, termasuk kedustaan yang harus dijauhi setiap Muslim.
Syaikh Muhammad Jamil Zainu Rahimahullah mengatakan,”(kewajiban orang tua) Membiasakan anak-anak untuk jujur dalam ucapan dan perilaku mereka dilakukan dengan cara kita (orang tua) tidak berdusta kepada anak-anak meski saat bercanda dengan mereka, jika kita (orang tua) menjanjikan mereka (sesuatu), maka kita (orang tua) harus memenuhinya”.(4)
Dengan melekatnya sifat jujur pada anak, akan terbentuk insan-insan yang selalu berbuat ikhlas, tidak suka cari muka, jauh dari niat buruk dan selalu berkata benar.
1) Sifat Amanah
Sifat ini sangat tinggi dan penting kedudukannya dalam Islam dimana al-Qur’an menyebutkan bahwa amanah mencakup seluruh aspek perintah dan larangan dalam Islam. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (QS. An-Nisa/4:58)
Amanat adalah segala hal yang dipercayakan kepada seseorang dan ia dituntut untuk menjalanknnya. Allah memerintahkan untuk menjalanknnya dengan sempurna. Termasuk dalam makna amanat ialah amanat memegang kekuasaan, kekayaan atau rahasia dan lainnya. Orang yang diserahi amanat untuk mengemban sesuatu, maka harus wajib memeliharanya dengan baik, karena amanat tidak bisa dijalankan kecuali denga cara memeliharanya.(5)
Dalam ayat lain, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul [Muhammad] dan [juga] janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS. Al-Anfal/8:27)
kejujuran termasuk bagian dari amanah dan pelengkapnya. Hal ini dapat diketahui bahwa Rasullullah Shallallahu ‘Alai Wa Sallam menggandengkan antara amanah dan kejujuran dalam hadits sebagai sifat seorang Mukmin, dan dua sifat yang bertolak belakang dengannya (dusta dan khianat) termasuk tanda nifak. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alai Wa Sallam bersabda :
tanda orang munafik ada tiga; jika bicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat (HR. al-Bukhari)
Atas dasar itu, menjadi kewajiban orang tua untuk membiasakan diri mereka dan anak-anak untuk menjaga amanah dan memperingatkan mereka dari khianat dan dampak buruknya. Termasuk memrintahkan mereka untuk menjaga hak-hak orang dan barang milik mereka yang mereka temukan di tengah jalan, meskipun harganya tidak seberapa dalam pandangan kita.
Orang tua harus mendidik ank-anak agar tidak punya keinginan untuk memiliki barang milik orang lain sekalipun berada di tengah jalan tanpa diketahui pemiliknya. Justru sebaliknya mengajak mereka untuk mencari pemiliknya sedapat mungkin. Ini akan menggoreskan pelajaran mendalam pada jiwa anak di kemudian hari untuk tidak pernah berharap memiliki barang miliki orang lain apalagi sampai mengambilnya dengan cara-cara haram.
3) Membiasakan Lisan Mereka Untuk Berkata-kata Yang Baik Saja
Mendidik anak untuk hanya berkata-kata yang baik dan menjauhi ungkapan-ungkapan buruk bagian dari akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam melalui al-Qur’an dan Hadits. Rasullullah Muhammad Shallallahu ‘Alai Wa Sallam telah menguhubungkan antara keimanan dan ucapan baik yang keluar dari mulut seseorang dalam sabdanya :
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam (saja) (HR. al-Bukhari)
Orang tua yang hendak mendidik anak untuk menjaga lisan dari celaan, umpatan, dan kata-kata kotor lainnya, maka harus menempuh empat cara:
Pertama, orang tua terlebih dulu harus menjauhi ucapan-ucapan yang buruk secara mutlak. Sebab, mereka itulah cermin dan teladan bagi anak-anak.”Sesungguhnya indahnya kepribadian pendidik dan kedua orang tua di depan anak-anak adalah bentuk tarbiyah (pendidikan) yang terbaik”.(6)
Kedua, mengajarkan anak-anak dan mengingatkan mereka dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam yang mengajak untuk menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang tidak baik, setiap kali mereka membutuhkan peringatan.
Ketiga, melakukan pengingkaran saat anak-anak mengeluarkan kata-kata yang buruk dan tidak senonoh.
Keempat, memilihkan teman pergaulan yang baik dan menjauhkannya dari teman pergaulan yang buruk, agar anak-anak terjaga dan terlindungi. Maka, menjadi kewajiban orang tua untuk mengawasi teman-teman pergaulan anak-anak mereka dan memperingatkan anak-anak jangan sampai berkawan dengan orang-orang yang berperilaku buruk. Ibrahim al-Harbi Rahimahullah mengatakan,”Kerusakan pertama pada anak terjadi karena kawannya”. (Dzammul Hawa, Ibnul Jauzi)
Anak-anak Harus Dijauhkan Dari Benih-benih Penyimpangan
Menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua untuk menjauhkan anak-anak dari benih-benih penyimpangan. Man syabba’ala sya’in syaba ‘alaih demikian bunyi pepatah Arab yang bermakna siap yang tumbuh denga pola hidup tertentu, maka ia akan terbiasa dengan itu di masa tuanya.
Maka, mata rantai penyimpangan hendaknya diputus sejak dini pula. Kelahiran anak yang meupakan salah satu pengaruh adanya sebuah perkawinan yang sah menjadi amanah bagi kedua orang tuanya. Secara riil, pelaksanaan amanah ini di antaranya dengan mendidik mereka dengan ajaran-ajaran Islam dan mengajarkan mereka hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia mereka. Selain itu, juga mengembangkan kepribadian mereka dengan akhlak yang mulia dan adab yang baik serta menjaga mereka dari teman-teman yang buruk dan pergaulan yang membinasakan.(7). Orang tua yang kurang perhatian atau melalaikan kewajiban mentarbiyah anak-anak mereka telah berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. (8)
Bila anak sudah terlanjur menyimpang dan menyenanginya, tinggallah orang tua pusing memikirkan bagaimana cara mengembalikan anak-anak buah hati mereka itu ke jalan yang lurus. Di saat itulah, penyesalan saja yang akan terjadi.
Sebagai penutup, mari kita simak nasehat Syaikh ‘Abdul Muhsin al-Qasim, imam dan khatib Masjid Nabawi kepada orang tua,”Jadikan perhatianmu yang baik terhadapat tarbiyah anak-anak dan keihklasanmu untuk itu sebagi sarana untuk mendekatkan dir kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Bergembiralah dan selalu berharap baik, serta menfaatkan apa yang engkau miliki berupa doa yang mustajab bagi anak-anakmu. Mendoakan anak termasuk kebiasaan para nabi. Nabi Ibrahim berdoa:”Dan jauhkanlah diriku dan anak-anakku dari menyembah berhala-berhala”
(ingatlah) Nabi Shallallahu ‘Alai Wa Sallam memberikan kemudahan kaun Muslimin dalam mendidik keturunan mereka sesuai dengan petunjuk Islam. Wallahu a’lam.
Diangkat dari al-Mar’atu Ra’iyatun fii Baitiha Da’iyatun, DR. Ahmad bin Muhammad Aba Buthain hlm. 17-21 dengan beberapa tambahan referensi seperti tercantum pada catatan kaki. Abu Minhal